Pindah Ibu Kota Bukan karena Frustrasi
JAKARTA, KOMPAS.com — Wacana pemindahan ibu kota Jakarta ke Kalimantan bukanlah karena bentuk frustrasi, melainkan untuk menghentikan subyektivitas yang berlangsung selama ini.
Demikian disampaikan salah satu anggota tim Visi Indonesia 2033, Andrinof A Chaniago, Kamis (28/10/2010), saat memaparkan visi memajukan Indonesia dalam diskusi "Visi Indonesia 2033" di Wisma Nusantara, Jakarta.
"Agenda strategis yang perlu dilakukan adalah melawan subyektivitas dengan menempatkan ibu kota di tengah-tengah, yaitu di Kalimantan," ujar pengamat politik Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, Kalimantan selama ini hanya menjadi sumber pendapatan negara yang sangat besar karena potensi alamnya. "Tapi semua itu masuk ke Jakarta. Kalau misalnya ibu kota dipindahkan ke Kalimantan, tentu ini juga akan meratakan," ucap Andrinof.
Ia menjelaskan, hal yang paling memungkinkan dilakukan dalam kaitannya dengan wacana pemindahan ibu kota adalah dengan memindahkan fungsi Jakarta sebagai pusat pemerintahan, bukan memindahkan fungsi bisnisnya.
"Jakarta sebagai pusat binsis perdagangan susah dipindahkan karena aset sebagian besar milik privat. Sementara itu, pelayanan pemerintahan bisa dipindah dengan mudah. Dengan itu, Jakarta lebih mudah ditata," ungkap Andrinof.
Untuk memindahkan ibu kota, lanjut Andrinof, diperkirakan membutuhkan waktu selama sepuluh tahun. "Untuk recovery kota, untuk mudah menatanya, maka pilihan paling tepat adalah pindahkan ibu kota ke luar Jawa," tandas Andrinof.
0 Response to "Pindah Ibu Kota Bukan karena Frustrasi"
Posting Komentar