"Mari kita bangun dunia dari mimpi dan jangan takutlah untuk bermimpi karena hidup berawal dari mimpi"

Macet? Atasi dengan TOD?

JAKARTA, KOMPAS.com — Angka pertumbuhan kendaraan berdasarkan data Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2009 mencapai 12,31 persen per tahun dengan jumlah kendaraan mencapai 5,7 juta unit. Dari jumlah tersebut, 5,6 juta merupakan kendaraan pribadi dan 87.9876 angkutan umum. Total perjalanan per hari pun mencapai 20,7 juta perjalanan.
Angka-angka fantastis itu tak ayal membuat Kota Jakarta kian hari kian macet. Simpul-simpul kemacetan kini tidak hanya terjadi di kawasan-kawasan bisnis, tapi sudah menyebar ke daerah pinggiran, seperti Depok, Kalimalang, dan Cibubur. Apa yang salah dengan kota ini?
Segala upaya sudah dan tengah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mulai dari pembangunan jalan layang, pengadaan bus transjakarta, hingga rencana pembatasan jumlah kendaraan. Namun, hasilnya masih sama saja. Sejumlah pakar menilai ada hal lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengurai kemacetan Ibu Kota, yakni dengan menerapkan sistem transit oriented development (TOD). TOD merupakan konsep pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan memperkuat lingkungan tempat tinggal dan optimalisasi jaringan antar berbagai aktivitas.
”TOD ini untuk mendekatkan orang ke tempat tujuan sehingga tingkat mobilitas masyarakat bisa dikurangi. Dengan TOD, orang tidak perlu lagi pakai mobil untuk mobilisasi,” ucap pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Ofyar Z Tamin, Rabu (23/3/2011) di Jakarta.
Dia menjelaskan, Pemprov DKI sebenarnya bisa membangun kawasan TOD pada simpul-simpul mass rapid transit (MRT). Di kawasan itu, bisa dibangun sebuah kawasan yang multiguna di mana semua fungsi jasa ritel, residensial, dan perkantoran dapat terpenuhi. Radius pelayanan perkotaan 0,4-0,8 kilometer. Dengan demikian, fungsi jalur pedestarian dan sepeda bisa lebih ditingkatkan. Namun, Ofyar melihat untuk membangun TOD ini masih perlu waktu lama sehingga penataan kendaraan umum tetap harus terlebih dulu dilakukan.
”Di atas kertas, kalau public transport baik, sistem TOD baik, maka kita tidak perlu lagi private transport. Ini yang menjadi masalah kita sekarang karena dua sistem itu masih belum ada,” tutur Ofyar.
Selain itu, Ofyar mencontohkan di Singapura konsep TOD terlaksana dengan baik di daerah Jurong. Namun, pelaksanaan TOD di Jurong relatif lebih mudah karena merupakan sebuah daerah baru.
”Tapi ini bagaimana membuat sistem TOD yang daerahnya sudah terbangun berarti perlu ada pemindahan, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan,” katanya.
Perwakilan Dinas Tata Ruang DKI, Monggur Siahaan, mengungkapkan, konsep TOD sebenarnya sudah masuk ke dalam Panduan Rancang Kota (Urban Design Guideline/UGDL). Kawasan TOD yang rencananya akan dikembangkan, yakni Kampung Bandan dan Dukuh Atas.
”Tapi untuk mewujudkan TOD ini perlu kebijakan yang mengakomodasi setiap stakeholder agar dapat merealisasikan pengembangan kawasan TOD. Perlu adanya peraturan yang mengatur daerah insentif dan disinsentif sebagai landasan hukum TOD,” ujarnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

ERP, Benarkah Solusi Kemacetan Jakarta?

JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana penerapanelectronic road pricing (ERP) di Jakarta bertujuan untuk menuntaskan masalah kemacetan yang semakin meningkat. Dengan adanya ERP, diharapkan penggunaan kendaraan pribadi menjadi berkurang.
”Rencana ERP ini dimaksudkan agar masyarakat Jakarta dapat dengan bijak menggunakan kendaraan pribadinya. Bukan membatasi kepemilikannya, hanya penggunaannya saja yang mesti dibatasi,” ujar wakil dari Koalisi Transport Demand Management (TDM), Ahmad Safruddin, ketika dialog publik mengenai rencana penerapan ERP di Jakarta, Rabu (23/3/2011).
Ahmad mengatakan, penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan merupakan penyebab utama kemacetan. Karena itu, yang pertama harus menanggung kerugian akibat macet adalah pengguna mobil dan motor yang menyebabkan kemacetan itu sendiri.
”Penerapan ERP nantinya akan memberikan batasan dan paksaan kepada para pengguna mobil dan motor. Namun, patut dicatat, ERP dapat berjalan jika angkutan umum diperbaiki sehingga pengguna menjadi nyaman memakainya,” tutur Ahmad.
Rencana ERP itu muncul atas dasar keprihatinan terhadap kemacetan yang terjadi di Ibu Kota. Bayangkan saja, berdasarkan data dari TDM, tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 6,7 juta unit dengan komposisi kendaraan roda dua mencapai 4,3 juta unit dan roda empat 2,4 juta unit. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor sendiri mencapai 0,7 persen - 0,8 persen per bulan atau 11 persen per tahun.
ERP sendiri sudah diterapkan di kota-kota yang maju seperti London, Stockholm, dan Singapura. Berkat penerapan sistem ini, angka kemacetan menurun, polusi kendaraan berkurang, dan kecepatan rata-rata lalu lintas naik sehingga waktu perjalanan menjadi singkat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Jakarta, Contoh Gagalnya Sebuah Kota

Ketika urbanisasi menjadi sebuah keniscayaan, kota besar pun menjadi sumber penghidupan utama populasi sebuah negara. Tetapi jangan sampai pembangunan kota-kota besar di Indonesia mengacu pada Jakarta. Ini contoh kota yang gagal!
Pertumbuhan ekonomi dunia mengubah wajah tiap negara. Nantinya, urbanisasi menjadi sebuah keniscayaan. Kota besar pun menjadi sumber penghidupan utama penduduk sebuah negara. Ahli perkotaan dari University of Stuttgart, Jerman, Eckhart Ribbeck memperkirakan dalam 10-15 tahun ke depan, akan ada 60% populasi dunia yang tinggal di perkotaan.
Ini artinya kemunculan setumpuk persoalan, dari mulai penyediaan perumahan, pekerjaan, infrastruktur, air bersih, pengelolaan sampah, sampai kendaraan umum. Di Cina saja sudah terjadi perubahan dramatis dengan munculnya kota-kota baru dalam 18-20 tahun terakhir.
Menurut Ribbeck, ini baru awalnya. Setiap 10 tahun, pemerintah Cina harus menyediakan perumahan, pekerjaan dan infrastruktur untuk 100 juta orang yang akan datang ke kota. Yang memudahkan pemerintah Cina untuk menyediakan perumahan bagi sekian banyak orang adalah, bahwa mereka memiliki semua lahan di Cina.
Persoalan penyediaan rumah dan infrastruktur seperti ini juga sesuatu yang harus mulai dipikirkan oleh pemerintah berbagai daerah di Indonesia. Dalam 15 tahun ke depan, Indonesia sebagai negara agraris tinggal kenangan masa lalu belaka. Dan setiap 10 tahun, sekitar 10 juta orang akan datang ke kota-kota besar (terutama Jakarta) untuk mencari sumber penghidupan. Maka penyelesaian yang sering diambil oleh Pemprov DKI Jakarta sekarang (seperti operasi yustisi atau himbauan untuk tidak membawa teman ke Ibu Kota), tidak akan efektif.
Yang kini sudah terjadi di berbagai kota dunia, termasuk Jakarta, adalah semakin menghilangnya kultur urban dan diganti dengan bangunan-bangunan yang mengedepankan efisiensi fungsi ekonomi. Misalnya saja, kampung-kampung mulai terganti dengan jalan layang atau apartemen atau hilangnya bangunan-bangunan tua yang menunjukkan identitas kota terganti distrik pusat bisnis. Selain di Jakarta, fenomena ini juga terjadi di Rio de Janeiro, Brasil dan Mexico City, Mexico.
Ribbeck mengakui adanya keengganan masyarakat Indonesia untuk tinggal di bangunan vertikal. "Ini ditolak secara budaya, tapi dengan semakin mahalnya harga tanah, maka (tinggal di hunian vertikal) tidak akan bisa dihindari," kata Ribbeck, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Sayangnya lagi, hunian vertikal yang ada sekarang hanya ditujukan untuk kelas menengah ke atas. Selain hilangnya identitas kota, tidak ada percampuran budaya antar-kelas sosial masyarakat dalam hunian-hunian ini.
Ribbeck melihat adanya kesamaan fenomena kelas menengah penghuni apartemen di Beijing, Shanghai, Rio de Janeiro, Jakarta, dan Surabaya. "Tidak ada komunikasi antar-kelas sosial di kota-kota ini. Anak-anak hanya bermain di lingkungan dengan teman-teman yang latar belakang ekonominya sama, mereka pergi ke sekolah yang kelompok pemasukan orangtuanya sama," tambah Ribbeck.
Ketegangan politik antar-kelas sosial pun terjadi. Bahkan kelompok kelas menengah penghuni apartemen justru merasa ketakutan tinggal di kotanya sendiri. Ribbeck mengasosiasikannya dengan, "Tinggal di kompleks hunian negara dunia pertama, sementara di luar masih negara dunia ketiga."
Pengajar Fakultas Arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana Eko Agus Purwoto mengkhawatirkan bahwa saat ini, kota-kota di Indonesia melihat ke Jakarta sebagai model ideal sebuah kota. Padahal, kenyataannya, dengan kemacetan dan ketidaktersediaan kendaraan umum yang memadai bagi warganya, Jakarta adalah kota yang gagal.
"Ada fantasi sosial yang coba dibangun oleh pengembang yang sangat kuat mengiklankan hunian mewah eksklusif setiap akhir pekan di sebuah televisi yang disiarkan secara nasional. Saya khawatir ini memberikan pengaruh yang luar biasa pada banyak orang di Indonesia," kata Eko.
Sementara itu, Jo Santoso, penulis buku Kota Tanpa Warga dan Ketua Program Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara, memiliki hitungan sendiri tentang berapa banyak orang Indonesia yang akan menghuni perkotaan. Dalam 25 tahun, sekitar 180-200 juta orang Indonesia akan tinggal di kota. Tiap tahunnya, akan ada 3,7 juta orang yang datang ke kota.
Kota, esensinya, harus ditata sebagai sebuah hunian manusia. Maka kota harus dapat mengakomodasi orang-orang yang tinggal di dalamnya dengan hunian layak. Tetapi yang terjadi di Jakarta sekarang, ada banyak tangan-tangan tak terlihat yang menentukan proses perkembangan kota.
Kekuatan tangan-tangan tak terlihat inilah yang kini tengah menggunakan Jakarta menjadi apapun selain hunian manusia. Jangan heran bila Jakarta menjadi kota yang sangat tidak nyaman ditinggali, karena kepentingan ekonomi dan politik tengah membajak pembangunan kota sebagai hunian.
Sebagai gantinya, nilai-nilai komersial memenuhi berbagai sudut kota. "Tidak ada yang mengajari kita caranya menjadi orang kota yang baik dan benar. Di rumah tidak diajarkan, di sekolah tidak diajarkan. Padahal hidup di kota adalah sebuah peradaban," kata Jo. Maka, jangan heran ketika kita mengartikan hidup di kota sebagai berakhir pekan di mal, tinggal di kawasan suburban, dan menjadi komuter menggunakan mobil pribadi dari kantor ke rumah dan sebaliknya setiap hari.
Pada akhirnya, Jakarta sebagai kota adalah sebuah peringatan bagi perkembangan kota-kota lain di Indonesia. Bahwa akan makin banyak kota-kota besar di Indonesia, tapi jangan sampai kota-kota itu kemudian menjadi Jakarta-Jakarta baru.
Foto: Tempo/Tony Hartawan
Isyana Artharini

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Kota Surga Bagi Pesepeda

VIVAnews - Bersepeda saat ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kota. Kebiasaan sehat yang satu ini pun makin populer di Jakarta dengan adanya Hari Bebas Kendaraan Bermotor setiap bulan.
Meskipun Anda juga bisa bebas bersepeda pada hari kerja, tetapi rasanya lebih nyaman bersepeda saat akhir pekan, ketika kondisi jalan tidak terlalu ramai. Tetapi, jika Anda tinggal di empat kota berikut, rasa nyaman bersepeda bisa didapatkan setiap hari. Ketahui empat kota yang merupakan surganya para pesepeda, seperti dilansir dari Divine Caroline.
4. Barcelona, Spanyol
Populasi masyarakat : 1,6 juta
Populasi pesepeda : Lebih dari 30.000 masyarakat Barcelona, menggunakan sepeda sebagai alat transportasi
Para pecinta sepeda di Barcelona dimanjakan dengan layanan "Bicing Service" yang dimulai pada 2007. Layanan ini memungkinkan masyarakat lokal dan turis  untuk mengajukan permohonan kartu bersepeda. Kartu ini memungkinkan mereka untuk mengambil sepeda dari seratus stasiun tersebar yang tersebar di seluruh wilayah perkotaan, menggunakannya dalam batas-batas kota, dan mengembalikannya ke stasiun lain.
Ada juga "jalur hijau" yang merupakan jalur sepeda untuk mengelilingi kota. Terdapat area parkir di jalanan yang bisa memuat 3.250. Kota ini juga sedang dalam proses membangun sebuah garasi sepeda bawah tanah yang besar.
3. Davis, California, Amerika Serikat
Populasi masyarakat : 65.000
Populasi pesepeda : 17 persennya adalah pengguna sepeda.
Davis adalah satu kota di Amerika Serikat yang aktif merencanakan untuk memasukkan jalur sepeda ke dalam arsitektur transportasi. Menurut Virgin-Vacations.com,   di kota tersebut terdapat sekitar seribu mil jalur sepeda. Hal ini membuat kota tersebut mendapat status "Bicycle Friendly Community". Bahkan lambang kota tersebut adalah sepeda.
2. Amsterdam, Belanda
Populasi masyarakat : 750.000
Populasi pesepeda : Empat puluh persen lalu lintas di Amsterdam adalah lalu lintas sepeda
Amsterdam, dikenal sebagai ibukota sepeda dunia. Terdapat 249 mil (400 kilometer) Fietspaden, atau jalur sepeda dan jalan yang ditunjuk. Sebagian besar diantaranya memiliki lampu lalu lintas sendiri dan tanda-tanda yang berbunyi: "Uitgezonderd" (artinya kecuali) untuk menunjukkan bahwa hanya sepeda dan skuter yang dikecualikan dari peraturan lalu lintas. Kota Amsterdam juga sedang dalam proses membangun sebuah garasi parkir sepuluh ribu sepeda di stasiun kereta api utama, Amsterdam Centraal.
1. Copenhagen, Denmark
Populasi masyarakat : 1,8 juta
Populasi pesepeda : 32 persen pekerja di Copenhagen menggunakan sepeda sebagai alat transportasi.
Kota yang berada di peringkat enam dunia dalam hal kualitas hidup ini, juga surganya para pesepeda. Tiap warga kota Copenhagen memiliki satu sepeda. Kota ini menawarkan sepeda umum gratis dan jalur sepeda yang ditunjuk dengan sistem sinyal yang terpisah. Salah satu daerah yang bernama Christiana bahkan hanya dilewati sepeda dan tidak ada mobil yang lewat. Pejabat setempat bahkan berencana untuk menggandakan pengeluaran untuk membangun infrastruktur sepeda dalam tiga tahun ke depan. (sj)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS